Senin, 16 Mei 2016



Kiasan Ramayana Ballet Purawisata


Purawisata adalah salah satu daya tarik wisata yang ada di kota Yogyakarta. Terletak di pusat kota seharusnya eksistensi Purawisata sangatlah baik, akan tetapi yang terjadi adalah Purawisata kurang menadapat perhatian dari wisatawan. Berdiri sejak tahun 1988 dan beroperasi sejak 1989, Purawisata mengalami pasang surut eksistensi.
Purawisata telah dikenal sebagai pusat rekreasi keluarga terpadu yang dapat ditemukan di tengah kota Yogyakarta. Menempati area seluas 2,5 ha, terletak di Jalan Brigjend Katamso dan dibutuhkan jarak tempuh 300 meter dari malioboro dan kraton Yogyakarta dapat diakses dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Purawisata telah mengalami beberapa perubahan sejak 1988 hingga saat ini, baik dari perubahan bangunan, atraksi, maupun manajemen yang ada.

Purawisata memiliki atraksi utama yaitu Ramayana Ballet, walau dulu Purawisata sempat memiliki atraksi lain seperti pertunjukan musik Dangdut dan Ketoprak. Namun, saat ini Purawisata hanya memiliki atraksi Ramayana Ballet dan pentas gamelan. Ramayana Ballet Purawisata pernah mendapatkan rekor MURI sebagai pementasan yang tak pernah berhenti untuk menampilkan pertunjukan. Sudah selama 40 tahun pentas berlangsung tanpa libur seharipun. Pemeran dalam Ramayana Ballet sendiri telah turun temurun bergantian dari keluarga para pemeran.
Bercerita mulai dari penculikan Dewi Shinta oleh Rahwana hingga terbunuhnya Rahwana oleh panah Sri Rama yang terdiri dari 2 bagian dan beberapa babak membuat pertunjukan tersebut dapat dinikmati. Serta adegan ketika Hanoman membakar Alengka dengan segala macam bentuk properti dan efek sangat bagus untuk menarik perhatian penonton. Namun dengan cerita sendratari dan banyak dialog maka perlu adanya translate dalam bernagai macam bahasa terutama bahasa inggris yang lebih baik.

Dalam merealisasikan target pengunjung Ramayana Ballet, pihak Purawisata membagi dalam beberapa jenis kelompok untuk mendatangkan pengunjung seperti wisatawan domestik yang meliputi pelajar dan umum serta wisatawan asing yang berasal dari Jepang dan Eropa. Upaya tersebut berbanding lurus dengan adanya kerjasama perusahaaan, pemerintah, serta instansi pendidikan untuk datang dan menyaksikan pertunjukan Ramayana Ballet. Target tersebut diantaranya dalam satu malam kursi pertunjukan harus terisi 125 penonton, namun hal tersebut belum optimal.
Meskipun Purawisata memiliki manajemen dan segmentasi pasar yang sudah cukup baik. Akan tetapi, dengan kunjungan perhari dan perbulannya yang belum bisa maksimal dan optimal maka terdapat beberapa aspek yang harus diperbaiki, terutama Pemasaran, Promosi, dan Pengelolaan. Pemasaran yang masih kurang dapat kita lihat dengan jumlah kunjungan yang belum memenuhi target dari segmentasi pasar yang telah ditentukan.
Promosi terkait pelaksanaan Ramayana Ballet dan fasilitas yang ada juga belum maksimal, dengan era digital maka selain kerjasama dengan berbagai instansi maka perlu untuk promosi melalui sosial media. Serta pihak pengelola yang belum bias bersaing dengan kompetitor lain dan membaca peluang dapat mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara.




Daftar Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Purawisata di unduh tanggal 20 April 2016 (18.24)

Minggu, 08 Mei 2016

KARNA “Putra Sang Surya”


Mengisahkan seorang putri bernama Kuntiyang pada suatu hari ditugasi menjamu seorang pendeta tamu ayahnya, yaitu Resi Durwasa. Atas jamuan itu, Durwasa merasa senang dan menganugerahi Kunti sebuah ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, semacam mantra untuk memanggil dewa. Pada suatu hari, Kunti mencoba mantra tersebut setelah melakukan puja di pagi hari. Ia mencoba berkonsentrasi kepada Dewa Surya, dan sebagai akibatnya, dewa penguasa matahari tersebut muncul untuk memberinya seorang putra, sebagaimana fungsi mantra yang diucapkan Kunti. Kunti menolak karena ia sebenarnya hanya ingin mencoba keampuhan Adityahredaya.
Surya menyatakan dengan tegas bahwa Adityahredaya bukanlah mainan. Sebagai konsekuensinya, Kunti pun mengandung. Namun, Surya juga membantunya segera melahirkan bayi tersebut. Surya kembali ke kahyangan setelah memulihkan kembali keperawanan Kunti. Dalam bahasa Sanskerta kata karṇa bermakna "telinga". Hal ini mengakibatkan muncul mitos bahwa Karna lahir melalui telinga Kunti. Namun, Karna juga dapat bermakna "mahir" atau "terampil". Kiranya nama Karna ini baru dipakai setelah Basusena atau Radheya dewasa dan menguasai ilmu memanah dengan sempurna.
Demi menjaga nama baik negaranya, Kunti yang melahirkan sebelum menikah terpaksa membuang "putra Surya" yang ia beri nama Karna di sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi itu kemudian terbawa arus sampai akhirnya ditemukan oleh Adirata yang bekerja sebagai kusir kereta di Kerajaan Kuru. Adirata dengan gembira menjadikan bayi tersebut sebagai anaknya. Karena sejak lahir sudah memakai pakaian perang lengkap dengan anting-anting dan kalung pemberian Surya, maka bayi itu pun diberi nama Basusena. Tak lama setelah itu, Kunti disunting Pandu dari Hastinapura dan berputra tiga orang: YudistiraBimasena (Bima), dan Arjuna. Bersama dua putra kembar Madri (istri kedua Pandu), mereka dikenal sebagai Lima Pandawa.
Suatu kisah sang guru bernama Parasurama memiliki pengalaman yang buruk dengan kaum kesatria, sehingga Karna harus menyamar sebagai brahmana muda agar bisa menjadi muridnya. Pada suatu hari, Parasurama tidur di atas pangkuan Karna. Tiba-tiba muncul seekor serangga menggigit paha Karna. Agar Parasurama tidak terbangun, Karna membiarkan pahanya terluka sementara dirinya tidak bergerak sedikit pun. Ketika Parasurama bangun dari tidurnya, ia terkejut melihat Karna telah berlumuran darah. Kemampuan Karna menahan rasa sakit telah menyadarkan Parasurama bahwa muridnya itu bukan dari golongan brahmana, melainkan seorang kesatria asli. Merasa telah ditipu, Parasurama pun mengutuk Karna. Kelak, pada saat pertarungan antara hidup dan mati melawan seorang musuh terhebat, Karna akan lupa terhadap semua ilmu yang telah ia ajarkan.
Kutukan kedua diperoleh Karna ketika ia mengendarai keretanya dan menabrak mati seekor sapi milik brahmana yang sedang menyeberang jalan. Sang brahmana pun muncul dan mengutuk Karna, kelak roda keretanya akan terbenam ke dalam lumpur ketika ia berperang melawan musuhnya yang paling hebat.
Kisah yang dialmai Karna sangat beraneka ragam, mulai dari Pemahkotaan Sabagai Raja Angga, Penolakan Drupadi hingga pembalasan untuk Drupadi karena cintanya ditolak, memiliki pusaka Indrastra, hingga berhasil melawan Gatotkaca merupakan secuil kisah yang dilamai oleh Karna. Hingga pada akhirnya dia tewas oleh kutukan yang disemanyatkan oleh gurunya Pada hari ketujuh belas, perang tanding antara Karna dan Arjuna dilanjutkan kembali. Setelah bertempur dalam waktu yang cukup lama, Ketika Arjuna membidiknya menggunakan panah Pasupati, salah satu roda keretanya terperosok ke dalam lumpur sampai terbenam setengahnya. Karna tidak peduli, ia pun membaca mantra untuk mengerahkan kesaktiannya mengimbangi Pasupati. Namun, kutukan kedua juga menjadi kenyataan. Karna tiba-tiba lupa terhadap semua ilmu yang pernah ia pelajari dari Parasurama hingga akhirnya tewas oleh panah Pasupati.


Terdapat kecocokan dalam karakter antara Karna dengan penulis, yakni semangat untuk menuntut ilmu yang tidak mengenal waktu dan tempat sampai keinginannya tercapai, selain itu sosok Karna yang bertanggung jawab dan menjadi pemimpin Kurawa dalam perang Barathayudha patut untuk di contoh dan dipelajari nilai-nilai yang terkandung terkait jiwa ksatriya. Serta yang paling penting adalah meskipun Karna adalah putra seorang dewa, tapi berkat dia didik dan dibesarkan sejak kecil oleh kusir maka dia selalu sadar diri dan rendah hati untuk tidak merasa bangga menjadi anak seorang dewa.(amj/dt)